SAYA TEMUKAN SOSOK IDEAL PEGAWAI PAJAK pada mendiang suami saya.
Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang
hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya.
Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami
biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman
kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi
Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua
putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan
Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari
2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi,
Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long
distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak
anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya
menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang
membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang
memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan
pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan.
Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti
apa maksudnya).
Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah
bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah
takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya
kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu
–bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan
teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan
betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang
punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu
yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang
istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai
PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan
sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah
keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang
terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,”
tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis
saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur
sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan
itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti
bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan
modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga
gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di
Pekalongan.
Abang orang yang sangat sabar, tenang, tak banyak bicara. Malah
terkadang tanpa ekspresi. Namun dalam diamnya, saya tahu ia tak diam.
Selama kami bersama, belum pernah ia marah sekalipun. Ia laki-laki yang
hangat dan update –selalu tahu semua hal. Diajak segala macam diskusi,
pasti langsung nyambung apapun topiknya, apalagi soal agama.
Keseimbangan itu yang kami teladani di rumah. Ia orang yang ngocol,
kadang jail dan sangat romantis. Dengan gitar kesayangan, ia sering
bernyanyi bersama anak-anak dengan kekonyolannya, melucu sampai tertawa
terbahak-bahak. Itu semua momen yang kami rindukan.
Salah satu lagu pengantar tidur anak-anak yang sering dinyanyikan,
“Demi masa, sesungguhnya manusia kerugian,melainkan yang beriman dan
yang beramal sholeh, ingat lima perkara sebelum lima perkara, sehat
sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum
sempit, hidup sebelum mati…”
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi
jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama.
Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga
hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan
dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib
pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih
cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname
selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu
belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda
tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran.
“Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya
maksimal?”
Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan
keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah.
Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang
mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi
lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus
2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN,
kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih
tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil
adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”.
Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap
memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda
dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si
Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang
suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya,
apakah ia bercanda atau serius. Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu.
“Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk
kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu
kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita
lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak
yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada
akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain,
kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus.
“Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak
ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya
pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya.
Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala
hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada
pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika
bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil
setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang
menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan
sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam
perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu
titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan
anak-anak.
* * *
DUA KALI KAMI tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
DUA KALI KAMI tertunda berangkat haji. Pada akhir 2008, kami sudah siap. Namun, Abang mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang tugas dari Palembang menuju Jambi. Tabungan kami untuk Ongkos Naik Haji pun akhirnya terpakai untuk biaya mengganti mobil dinas Livina yang ringsek. Abang tak mau memanfaatkan fasilitas asuransi kendaraan kantor. Dia memilih bertanggung jawab sendiri. Uang bisa dicari, mungkin Allah belum berkehendak. Yang penting Abang selamat. Tahun 2009 pun kami lewatkan. Maklum, masih belum cukup biaya untuk melunasi. Hingga akhirnya, 2010, saya mantap naik haji. Berapapun biayanya. Apapun kendalanya. Saya berdoa, “Mudahkan ya Allah, kami ingin beribadah.”Alhamdulillah, ada jalan walaupun kami harus memanfaatkan pinjaman kantor saya. Itupun Abang masih ragu, “Bunda, apakah ini hak kita?” tanya Abang. Padahal, dengan gajinya sekarang, mungkin Abang bisa saja langsung melunasi ONH. Namun tidak demikian. Abang masih bersikeras dengan alasannya. Alhamdulillah akhirnya saya dapat memantapkan hati Abang. Dengan izin-Nya, kami bisa melunasi ONH dari hasil tabungan gaji pokok PNS, bonus, dan sedikit tambahan pinjaman. November, tiga bulan sebelum kehilangannya, berangkatlah kami berdua.
Sepertinya Allah sudah menyusun rencana dengan sangat indah. Empat puluh
hari saya bersamanya di tanah suci adalah waktu yang sangat indah dan
tak dapat saya lupakan. Selama kami berumah tangga dari awal menikah,
kami belum bisa kumpul bersama. Saat itulah saya merasakan indahnya
kebersamaan yang tak ingin terpisahkan. Sempurna rasanya sebagai istri
yang bisa melayani dan mengurus suami. Begitupun Abang. Ia menunjukka
keceriaan yang tak pernah saya lihat sebelumnya. Abang adalah tipe orang
yang sangat perhatian dan romantis. Satu kali kami hendak salat dan
saya berdiri di samping belakangnya. “Bunda salatlah di saf (barisan)
perempuan.” “Tapi, Ayah… Bunda sendirian.” kebetulan saat itu suasana
padat sekali di Masjidil Haram. Saya sempat mengelak.
“Berjihadlah, ayah bertanggung jawab mendidik Bunda dan anak-anak.”
Sedih rasanya mendengar jawaban itu. “Bunda harus terbiasa sendiri,”
sambung Abang.
“Kenapa, Yah?”
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
“Karena kita lahir sendiri. Mati pun sendiri.”
“Jangan bilang gitu yah. Anak-anak masih kecil.”
“Ada Allah yang menjaga anak-anak,” Senyumnya membuat hati saya merasa tenang dan yakin. Ternyata ini pesantren yang Allah berikan lewat ilmu agama yang baik dari Abang. Saya dapat pengetahuan banyak.Terima kasih ya Rabb, Kau telah memberikan kesempatan untuk kami dapat beribadah bersama. Sungguh, momen itu tak mungkin bisa terlupakan. Banyak nikmat yang kami terima sampai kami tiba ke tanah air dengan selamat. Hadiah terindah dari Tanah Suci, saya positif hamil.
Beberapa peristiwa merupakan pertanda yang tak saya sadari. Tanggal 9
Februari 2011, dua pekan sebelum hari celaka itu, kami nonton teve
bareng. Ada berita tentang selebritis yang jadi politisi kehilangan
suaminya –yang juga artis cum anggota Dewan. Sang istri menangis
mengelus-elus nisan suami. “Kalau Bunda seperti itu gimana, ya Yah?
Anak-anak masih kecil…” spontan saya nyeletuk dengan maksud bercanda.
Entah kenapa rasa humor yang seperti biasanya, hilang tergantikan
dengan tausyiah. “Itu yang tidak boleh,” tuturnya tenang, “menangis,
meratapi di pusara tidak baik. Yang diperlukan orang yang telah
meninggal adalah doa dari yang masih hidup, bukan bunga yang wangi atau
nisan yang indah. Saat Nabi Muhammad ditinggal istri tercinta Khadijah
pun beliau merasakan kehilangan dan hanya berkabung tiga hari. Boleh
menangis, asal jangan meratap.”
“Hidup di dunia hanya sementara, justru hidup setelahnya yang akan
kekal. Perbanyaklah bekal untuk di akhirat. Tiada daya upaya manusia
untuk mencegah bila Allah telah berkehendak untuk mengambil nyawa
manusia. Jangan takut, Allah lebih dekat dari urat nadi kita. Banyak
baca buku tentang agama, yah Bun. Biar tambah banyak ilmunya.”
Dengan senyuman khas yang menenangkan, Abang tak pernah seperti sedang
mengajari bila ia sedang berbagi ilmu. Abang berujar, “Tolong jaga
anak-anak. Didik agamanya dengan baik. Istikamahlah karena bila agamanya
kuat dan takut kepada Allah, dia bisa menghadapi dunia dengan ilmu.
Bukan dengan harta dan ingat Allah selalu tahu apa yang kita perbuat.”
* * *
SEMENJAK PULANG ZIARAH, Abang memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.
SEMENJAK PULANG ZIARAH, Abang memperlakukan saya begitu istimewa. Mungkin karena saya sedang hamil. Saya begitu dimanjanya. Hingga Minggu malam itu (20/2)… Kehamilan dua anak sebelumnya, Abang tak pernah menuruti keinginan saya, sekalipun merajuk jika meminta sesuatu. Tapi malam itu… “Kita makan di luar yuk. Bunda pasti pengen apa deh. Kan lagi hamil muda. Ayo lagi kepengen apa?” ujarnya setengah memaksa untuk pergi. Akhirnya kami pergi makan di sebuah resto ikan bakar favoritnya. Karena lama tugas di Makassar, kuliner ikan wajib sebulan sekali buat kami. Abang memesan menu lebih banyak dari biasanya. Alasannya, bisa dibungkus untuk sahur. Alhamdulillah, Senin-Kamis tak pernah terlewatkan untuk puasa sunah. Apa ini yang disebut pertanda? Hendak berangkat ke resto, kami mendapati ban mobil kempes. “Bersyukur, Bunda. Kita keluar rumah nih. Ban kempes, kalo ketahuannya besok pagi, bisa-bisa Ayah kesiangan rapat di Kantor Pusat. Ayah yang menyiapkan ide, masak terlambat? Gak enak dong.”Lagi lagi dengan senyumanya.
Tengah malam, Kayyisah panas dan muntah. Rewel sekali. “Dede
(panggilan Kayyisah) pengen tidur sama Ayah aja…. Pengen dipeluk Ayah…
aku sayang Ayah. Ayah gak boleh kerja,” rengeknya. Abang pun membuka
baju, dan memeluk Dede. Dan Alhamdulillah panasnya reda. Dede pun
terlelap.
Pukul setengah tiga dini hari, kami bangun salat tahajud. Biasanya,
kami selalu berjamaah. Setelah berdoa, kami berpelukan, saling meminta
maaf. Ritual itu tak pernah absen kami lakukan sehabis salat. Tapi kali
ini Abang minta salat sendirian. “Kita pisah yah. Ayah mau memperbanyak
salat tahajudnya.”
“Kenapa?” pertanyaan itu mestinya saya ungkapkan. Tapi tertahan di hati saja.
Ikan bakar yang seharusnya jadi menu sahur tak Abang sentuh. Malah,
Abang meminta buah. “Bun, tahu gak buah-buahan itu makanan di surga.
Jadi Ayah cukup sahur dengan apel aja.” Saya tak bertanya, dua minggu
terakhir ini Abang bertausyiah tentang kematian terus. Keanehan yang
lain, Abang menitipkan Dede sama Mbak (pengasuh anak kami)
berulang-ulang.
“Tak seperti biasanya, Bapak nyuruh jagain Dede berulang gitu. Kok
kaya mau kemana aja,” ujar Mbak kepada saya. Jam 03.30 pagi. Saya dan
Dafi mengantarnya hingga ke pool travel Xtrans di Metro Trade Center.
Keanehan yang lain terjadi lagi. Abang tak mau memandang saya. Seperti
orang yang sangat sedih mau pergi. “Ayah mau salat di mobil saja. Bun,
hati-hati ya. Titip anak-anak,” itu kalimat terakhirnya. Biasanya Abang
minta berhenti di rest area guna salat subuh.
Tepat pukul 04.30. Ring tone hape yang sengaja saya bedakan berbunyi.
Abang menelepon saya. Sayang, tak sempat saya angkat karena rasa
kantuk. Kami begadang karena Dede rewel semalaman. Seandainya saja saya
bisa angkat telepon itu, mungkin saya bisa mendengar suaranya yang
terakhir kali…
Pukul 04:35. Menurut catatan kronologis Jasa Marga, peristiwa di Tol
Cipularang Jalur B Km 100 itu terjadi. Tabrakan karambol yang melibatkan
satu truk, minibus travel, dan sebuah mobil, menewaskan tiga orang.
Semuanya penumpang travel. Abang meninggalkan kami dalam keadaan puasa.
Dan mungkin tengah mendirikan salat subuh. Dalam perjalanan memenuhi
tugas.
Di mata saya, Abang wafat dalam jihad. Wallahualam –Tuhan yang punya ketentuan.
Allah punya kehendak lain. Allah
lebih mencintai Abang daripada kami. Dia lebih berhak atas Abang
daripada kami. Ajal, jodoh, dan rejeki hanya Allah yang tahu kapan dan
di mana. Takkan pernah ada yang bisa menghalangi atau pun tertukar. Bila
Allah telah berkehendak, tak ada yang mampu menahannya. Allah memberi
kesempatan untuk saya agar lebih dekat dan banyak beribadah lagi.
Insyaallah ini menjadi ladang ibadah.
Menyangkut kejadian ini, jangan ditanya rasa sedih. Yang saya rasakan
hingga saat ini, air mata sepertinya tak bisa kompromi, seakan mendesak
keluar, jika mengingatnya. Namun, saya ingat pesan almarhum. Saya tak
boleh larut dipermainkan pikiran “seandainya-seandainya”. Itu semua
sudah kehendak-Nya. Tak kurang dan tak lebih. Sudah begitu adanya. Hanya
doa saya dan anakanak yang bisa kami berikan untuk kekasih kami… Ismail
Najib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar