Banyak orang silau dengan harta.
Seolah-olah bangkitnya umat ini dimulai dari harta. Padahal kebangkitan Islam
dimulai dari ilmu
Oleh: Nuim Hidayat *

Generasi
yang berilmu atau tradisi masyarakat berilmu ini telah diproklamirkan
Rasulullah saw semenjak ayat Al-Quran yang pertama turun. Ayat Iqra’, bacalah, telah
mengubah sahabat-sahabat Rasulullah dari orang-orang jahiliyah yang suka
mabuk-mabukan, main perempuan, berleha-leha, menipu, egois dengan harta menjadi
orang-orang yang senang dengan ilmu pengetahuan dan berakhlak mulia. Mengubah
generasi-generasi Arab jahiliyah yang tidak diperhitungkan dalam pergolakan
dunia, menjadi pemimpin-pemimpin dunia yang disegani di seluruh kawasan dunia
saat itu.
Tradisi
baca dan tulis-menulis begitu hidup saat itu. Tiap ayat Al-Quran turun,
Rasulullah saw. memerintahkan kepada sahabat dekatnya untuk menulis, Zaid bin Tsabit,
Ali bin Abi Thalib dll. Bahkan tradisi membaca dan menulis ini menjadi simbol
kemuliaan seseorang.
Rasulullah
saw menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di
Madinah. Juga memberi mandat Ubadah bin as Shamit mengajarkan tulis menulis
ketika itu. Kata Ubadah, bahwa ia ia pernah diberi hadiah panah dari salah
seorang muridnya, setelah mengajarkan tulis menulis kepada Ahli Shuffah. Saad
bin Jubair berkata: “Dalam
kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku
menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering
berkata:” Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di
rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu
akan membantumu.” (lihat Prof. Mustafa Azami, 2000) Semangat
mereka dalam memburu ilmu pengetahuan makin tinggi, berkat pemahaman terhadap
Al-Quran yang banyak ayat-ayatnya mendorong agar Muslim senantiasa menggunakan
akalnya.
Ibnu Taimiyah meriwayatkan bahwa banyak sahabat yang tinggal di asrama
untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurut Ibnu Taimiyyah, jumlah orang yang
tinggal di dalam Suffah (asrama tempat belajar), mencapai 400 orang. Menurut
Prof. Azami, Rasulullah mempunyai sekitar 65 sekretaris yang bertugas menulis
berbagai hal khusus. Khusus menulis Al-Quran: Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Tsabit, Utsman bin Affan dan Ubay bin Kaab. Khusus mencatat harta-harta
sedekah: Zubair bin Awwam dan Jahm bin al Shalit. Masalah hutang dan perjanjian
lain-lain: Abdullah bin al Arqam dan al Ala’
bin Uqbah. Bertugas mempelajari dan menerjemahkan bahasa asing (Suryani): Zaid
bin Tsabit. Sekretaris cadangan dan selalu membawa stempel Nabi: Handhalah
(lihat “Kuttabun Nabi”,
Prof. Mustafa Azami).
Generasi
selanjutnya, seperti Jabir ibn Abdullah ra menempuh perjalanan sebulan penuh
dari kota Madinah ke kota ‘Arisy di Mesir hanya demi mencari satu
Hadits. Ibnu al-Jauzi menulis lebih dari seribu judul. Imam Ahmad pernah
menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits, bertani untuk
mencari rezeki dan masih membawa-bawa tempat tinta pada usia 70 tahun. Imam
al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu sholat dua
rakaat setiap kali menulis satu Hadits, serta berdoa meminta petunjuk Allah.
Sehingga karyanya menjadi contoh teladan, tujuan para ulama dan pemuncak
cita-cita. Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’,
dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang
ilmu dari subuh sampai larut malam.
Kejayaan
dan Kejatuhan Bangsa
Dalam
masalah tradisi ilmu ini, Prof. Wan Daud menyatakan bahwa kejayaan atau
kejatuhan suatu bangsa tergantung pada kuat atau tidaknya budaya ilmu pada
bangsa itu. “Pembinaan budaya ilmu yang terpadu dan jitu merupakan prasyarat
awal dan terpenting bagi kesuksesan, kekuatan dan kebahagiaan seseorang dan
suatu bangsa. Suatu individu atau suatu bangsa yang mempunyai kekuasaan atau
kekayaan tidak bisa mempertahankan miliknya, atau mengembangkannya tanpa budaya
ilmu yang baik. Malah dia akan bergantung kepada orang atau bangsa lain yang
lebih berilmu. Kita telah melihat sendiri betapa beberapa negara minyak yang
kaya-raya terpaksa bergantung hampir dalam semua aspek penting kehidupan
negaranya kepada negara lain yang lebih maju dari segi keilmuan dan kepakaran.
Sedangkan unsur lain, yaitu harta dan tahta, bersifat eksternal dan sementara.
Keduanya bukanlah ciri yang sejalan dengan diri seseorang atau suatu bangsa
tanpa ilmu yang menjadi dasarnya. Sebaliknya jika ilmu terbudaya dalam diri
pribadi dan masyarakat dengan baik, maka bukan saja bisa mempertahankan dan
meningkatkan lagi keberhasilan yang ada, malah bisa memberikan kemampuan untuk
memulihkan diri dalam menghadapi segala kerumitan dan tantangan,”papar Guru
Besar ISTAC ini.
Hanya
orang-orang yang rabun pemikirannya yang menyatakan bahwa kejayaan atau
kemunduran suatu individu atau bangsa karena harta atau kekayaan. Bangsa Brunei, Kuwait dan Arab Saudi yang kaya
raya, kenyataannya tidak menjadi bangsa yang hebat, maju atau disegani dunia.
Orang-orang Baratlah dengan pengetahuannya, yang ‘menyetir’, mengeksplorasi
sumber-sumber daya alam yang kaya di
Saudi, Kuwait
dll. Bahkan juga bisa dibilang ekonomi dan politiknya. Ada pepatah Barat “Money Will Follow”.
Tentu,
kejayaan ilmu sekuler, meski bisa menguasai teknologi dan peradaban manusia, ia
tidak dapat memberikan kebahagiaan jiwa manusia. Karena landasan keilmuan
mereka memang dibangun dari kegelisahan jiwa, keragu-raguan dan tidak pernah
mengalami keyakinan. Sehingga kita lihat meski telah mengalami kemajuan
teknologi, Barat tidak dapat mengobati penyakit jiwa manusia. Banyak orang
Barat yang pintar tapi jahat atau pintar tapi curang, culas dan lain-lain.
Seperti sistem ekonomi dan politik dunia yang bekerja saat ini pun yang dibangun
dengan penjajahan (Iraq,
Palestina, Afghan dll) dan pemiskinan negara-negara berkembang (World Bank,
PBB, IMF dll).
Penguasaan
individu atau masyarakat kepada ilmu-ilmu Keislaman dan ‘ilmu-ilmu umum’ yang
berpadu dengan Islamlah yang akan mengantarkan kejayaan sebuah bangsa.
Peradaban Islam yang berdiri ribuan tahun telah membuktikan semuanya. Dan kini
kita meninggalkan jejak, sejarah dan budaya kita sendiri, meniru-niru jejak
Barat yang mengagung-agungkan materi dan keduniaan.
Padahal
Al-Quran mengingatkan bahwa persatuan/kemajuan bangsa yang sejati adalah dengan
aqidah Islam, bukan dengan harta benda. Termasuk dalam organisasi dan partai,
orang bisa dipersatukan dengan harta atau ideologi (aqidah Islam). Firman Allah
SWT: “Walaupun kamu
membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat
mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.
Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 8:63)
* Penulis adalah mantan aktifis LDK IPB-Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar